Pada tahun 2011 Tim Cyber Bareskrim Mabes Polri menangkap Christianto alias Craig, seorang anggota komplotan penipuan jual beli kertas online, di Medan. Menurut Kanit Cyber Crime Bareskrim Polri Kombes Pol Sulistyo, anggotanya memang terus memburu komplotan penipu tersebut sejak mendapat laporan dari korban seorang warga Qatar, Alqawani, pada 2010. Sementara, dua pelaku utama yang menjadi otak kejahatan dunia maya ini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DOP) alias buronan kepolisian. Keduanya adalah Muhammad Redha dan Tunggalika Nusandra alias Dodi. Alqawani, seorang warga Qatar yang tertarik membeli kertas di toko online milik Craig dan Dodi pada Maret 2010. Setelah memesan, Craig sempat mengirim sampel kertas sebanyak satu rim ke Qatar. Alqawani yang puas kemudian memesan lebih banyak. Ia kemudian mentransfer Rp. 200 juta ke nomor rekening toko tersebut. Setelah itu, Craig menghilang bersama uang Alqawani tanpa bisa dihubungi kembali. Polri telah membidik sindikat toko palsu ini sejak akhir 2010 setelah korban melaporkan toko tersebut ke KBRI di Qatar. (www.tribunews.com, Jakarta)
ANALISA KASUS
Ada beberapa hal yang dapat kami analisa dari contoh kasus diatas. Kasus diatas merupakan kasus penipuan jual beli online lintas negara, dengan memanfaatkan teknologi internet yang dapat di akses dari segala penjuru dunia dengan segala kemudahannya, berbekal kemampuan bahasa asing dan internet sang pelaku berhasil menipu warga dari negara lain.
Pelaku menggunakan teknik jebakan dalam kasus tersebut, dimana pada awalnya pelaku berusaha meyakinkan target tipuan dengan cara mengirim sample pesanan. Setelah target percaya dan puas atas sample yang dikirim, dan kemudian memesan dalam jumlah banyak barulah si pelaku beraksi. Setelah uang pembayaran ditransfer oleh target, pelaku tersebut menghilang dengan uang yang telah diterimanya.
Sadar bahwa ia telah tertipu, sang korban kemudian melaporkan kepada pihak berwajib, karena jumlah kerugian yang diterima oleh korban tidaklah sedikit, 200 juta raib dengan mudahnya. Setelah menerima laporan dari korban ke KBRI di Qatar, kepolisian melacak sindikat penipuan ini. Kemudian setelah melalui proses pelacakan dan pencarian yang cukup lama, pada tahun 2011 anggota komplotan penipuan ini akhirnya tertangkap di Medan.
Pada kasus tersebut korban terlalu cepat percaya kepada pelaku. Hanya karena puas terhadap sample yang diterima ia dengan mudahnya melakukan transfer uang atas pemesanan barang dalam jumlah besar, dengan pelaku yang berasal dari negara lain. Hal seperti ini sebetulnya dapat diantisipasi dengan melakukan pembayaran COD (Cash on Delivery), atau paling tidak dalam melakukan jual beli online kita harus waspada dan berhati-hati dengan mencari tau sedetail mungkin kredibilitas dan identitas penjual, terlebih jika pemesanan dalam jumlah besar, atau mungkin akan lebih baik lagi disertai semacam perjanjian. Jadi jika terjadi penipuan maka akan lebih mudah melaporkan pelaku dengan identitas dan bukti yang lengkap. Hal ini tentunya juga membantu pihak yang berwajib dalam proses penangkapan.
HUKUMAN
Perlakuan Hukum
Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jerat Hukum
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).
Untuk pembuktiannya, Aparat Penegak Hukum (APH) bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar